Pengamat Menyebutkan Ada Gejala Politik Olok-Olok Di Masa Kampanye

Poros Nasional. Pengamat politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menyebut ada gejala politik olok-olok di dua bulan masa kampanye Pemilihan Umum 2019. Menurut dia gejala politik olok-olok itu terlihat dari kelakuan para elite politik yang cenderung saling serang dengan pernyataan-pernyataan menohok dan cenderung emosional.

Ia mengatakan gejala politik olok-olok ini mengesankan dangkalnya gagasan politik para elite.

"Pada masa kampanye kini kita mendapati suatu gejala politik olok-olok yaitu ketika elite politik lebih sering mengeksploitasi emosi massa lewat pernyataan menohok ketimbang mengeksplorasi keunggulan lewat tawaran program," ujar Arif dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (21/11).

Ia memaparkan beberapa bentuk politik olok-olok. Pertama para elite menyampaikan pesan yang superfisial, dangkal, tidak substansial dan cenderung mengada-ada. Salah satu adalah pernyataan calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga soal tempe setipis ATM.

Bentuk kedua, lanjut dia, para elite memberikan kritik yang tanpa didasari data-data akurat. Contohnya, saat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut masih ada 100 juta orang miskin di Indonesia. Padahal, di saat yang sama Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan berada di bawah 10 persen.

Bentuk ketiga adalah penyampaian pesan emosional elite yang mengarah pada kegeraman dan cenderung mengarah pada agitasi. Salah satu contohnya, lanjut Arif, adalah pernyataan calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin yang menyebut pihak yang masih mengkritik kinerja Presiden Joko Widodo adalah orang buta dan budek.

Arif melanjutkan bentuk politik olok-olok adalah kelakuan para elite menyinggung lawan dengan pesan-pesan sumir dan multitafsir. Salah satunya adalah saat Jokowi yang menelurkan istilah politikus sontoloyo.

Ia mengatakan menjamurnya gaya politik olok-olok di kalangan elite terjadi akibat beberapa hal. Pertama, pasangan calon cenderung reaksioner dan kurang antisipatif terhadap masalah.

Kedua tim kampanye gagal menerjemahkan visi menjadi program yang lebih konkret. Ketiga minim terobosan kampanye cerdas dan kreatif.

"Keempat politisasi SARA terus menjebak politik nasional dalam kubangan kebencian yang mana ini sudah terjadi sejak dulu," ujarnya.

Kendati begitu, ia menilai, gaya politik olok-olok ini tidak akan efektif lantaran masyarakat yang semakin rasional. Hal itu kata dia terlihat dari Pilkada 2018 lalu di mana politik SARA dan saling ejek tidak secara masif terjadi.

Ia mengatakan jumlah milenial yang cukup banyak tidak akan membuat gaya politik ini efektif dimainkan para elite lantaran karakteristik mereka yang pluralis, egaliter, kreatif, dan kritis.

"Menggunakan politik olok-olok untuk pemilih rasional sulit. Begitu pun untuk pemilih emosional yang sudah loyal dengan pilihannya. Saya kira politik olok-olok ini adalah untuk memenuhi hasrat politik elite yang sedang berkompetisi," ucapnya.

Kata dia, agar gejala politik olok-olok ini tidak terus berlanjut hingga hari H pemilihan, para kandidat harus mengembangkan komunikasi politik yang cerdas dan kreatif dengan menawarkan gagasan.

"Tawaran program jelas akan berkontribusi ke kecerdasan pemilih. Cek UU Pemilu kampanye itu bagian dari pendidikan politik. Sekarang bagian mana yang sudah disampaikan kedua kandidiat yang mencerdaskan masyarakat? Yang terjadi pembodohan masyarakat," ujar dia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhirnya Kota Bogor Mengeluarkan Larangan Plastik Di Pusat Perbelanjaan

Pemutihan Pajak Kendaraan DKI Sudah Berlaku Sebulan, Dimulai Pada Hari Ini

Kasus Baiq Nuril: Solusi Hukum Dengan Grasi Atau Amnesti